Senin, 16 Februari 2009

Sutrah (pembatas) ketika Shalat dan Pembahasannya


Sutrah (pembatas) ketika Shalat dan Pembahasannya
Oleh: Farid Nu’man

A. Dalil-Dalil Sutrah

Menggunakan sutrah di depan mushalli (orang yang shalat)ketika shalat memiliki pensyariatan yang kuat. Berikut adalah sebagian saja dari dalil-dalilnya:


Pertama. Dari Sahl bin Abi Hatsmah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ
“Jika salah seorang kalian shalat menghadap sutrah (pembatas) maka hendaklah dia mendekatinya, niscaya shalatnya tidak akan diputus oleh syetan.” (HR. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Ad Dunuwwi min As Sutrah, Juz. 2, Hal. 349, No hadits. 596. An Nasa’i, Kitab Al Qiblah Bab Ad Dunuwwi min As Sutrah, Juz. 3, Hal. 196, No hadits. 740. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, Juz. 2, Hal. 433, No hadits. 877. Katanya: “Hadits ini shahih sesuai syarat Syaikhain (Bukhari-Muslim) tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Nuruddin al Haitsami Rahimahullah mengatakan:
رواه الطبراني في الكبير ورجاله موثقون.
“Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Kabir-nya, dan para rijalnya (periwayatnya) bisa dipercaya.”(Majma’ Az Zawaid, Juz. 2, Hal. 59. Al Maktabah Asy Syamilah)

Syaikh al Albany Rahimahullah menyatakan shahih.(Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud, Juz. 2, Hal. 195. Al Maktabah Asy Syamilah)

Kedua. Dari Abu Said al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

“Jika salah seorang kalian shalat, maka shalatlah dengan menggunakan sutrah, dan mendekatlah kepadanya.” (HR. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Ma Yu’maru al Mushalli An Yadra’a ‘An al Mamarru Al baina Yadaih, Juz. 2, hal. 235, no hadits. 598. Ibnu Majah, Kitab Iqamatush Shalah was Sunnah Fiiha Bab Idra’ Mastatha’ta, Juz. 3, Hal. 215, No hadits. 944. Syaikh al Albany menyatakan hasan shahih. Lihat Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud, Juz. 2, Hal. 198. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ketiga. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا الْأُمَرَاءُ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika keluar menuju lapangan pada shalat hari raya, dia memerintahkan untuk mengambil tombak dan meletakkan di hadapannya, lalu dia shalat menghadap ke arahnya, dan manusia melihat hal itu. Demikian itu dilakukannya ketika safar, maka untuk selajutnya hal itu diikuti oleh para pemimpin umat.” (HR. Bukhari, Kitab Ash Shalah Bab Sutratul Imam Sutrah Man Khalfahu, Juz. 2, Hal. 297, No hadits. 464. Muslim, Kitab Ash Shalah Bab Sutratul Mushalli, Juz. 3, Hal. 63, No hadits. 773. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Ma Yasturu al Mushalliya, Juz. 2, Hal. 337, No hadits. 589. Al Maktabah Asy Syamilah)

Keempat. Dari Musa bin Thalhah, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلَا يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Jika salah seorang kalian meletakkan di hadapannya setinggi pelana kuda, maka shalatlah dan janganlah dia peduli dengan apa-apa yang ada di belakangnya.” (HR. Muslim, Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, Juz. 2, hal. 251, No hadits. 769. Al Maktabah Asy Syamilah)

Kelima. Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا تصلوا إلا إلى سترة ، ولا تدع أحدا يمر بين يديك ، فإن أبى فقاتله ، فإن معه القرين

“Janganlah kalian shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seorang pun melewati di hadapanmu, jika dia bersikeras lewat maka bunuhlah, karena sesungguhnya dia memiliki qarin (kawan dekat dari kalangan syetan).” (HR. Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, Juz. 2, Hal. 432, No hadits. 876. Al Maktabah Asy Syamilah)

Demikian beberapa dalil saja, dari sekian banyak dalil tentang menggunakan pembatas ketika shalat.

B. Perselisihan Pendapat Ulama Tentang Hukumnya

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meletakkan sutrah (pembatas) di depan orang shalat. Di antara mereka ada yang menyunnahkan, ada pula yang mewajibkan.

Para Ulama yang Menyunahkan Sutrah

Kelompok ini berpendapat bahwa memasang sutrah hanyalah sunah, sebab perintah tidak selamanya bermakna wajib apalagi ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat tidak menggunakan sutrah (pembatas).

Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

ستحب للمصلي أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه وتكف بصره عما وراءها

“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat meletakkan di depannya sebuah pembatas untuk mencegah orang lewat di depannya, dan menghalanginya melihat hal-hal dibelakang pembatas itu.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 255. Al Maktabah Asy Syamilah)

Beliau berdalil dengan hadits dari Ibnu Abbas berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di lapangan dan dihadapannya tidak ada apa-apa.” (HR. Ahmad, Juz.4, Hal. 396, No hadits. 1864. Al Maktabah Asy Syamilah)

Hanya saja hadits ini dha’if. Berkata Imam Al Haitsami Rahimahullah:


وفيه الحجاج بن أرطأة وفيه ضعف.

“Dalam (sanad) hadits ini terdapat Al Hijaj bin Artha’ah, dan dia dha’if.” (Majma’ az Zawaid, Juz.2, Hal. 63. Al Maktabah Asy Syamilah)

Namun ada hadits lain yang serupa dengan ini, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina tanpa menghadap tembok, maka aku lewat di hadapan sebagian shaff lalu aku gembalakan keledaiku, lalu aku masuk ke barisan, namun tidak ada yang mengingkari itu.” (HR. Bukhari, Kitab Al ‘Ilmu Bab Mataa Yashihhu Sama’ As Shaghir, Juz. 1, Hal. 136, No. 74)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

“Maksud ,“tanpa menghadap tembok,” adalah tanpa menghadap sutrah, demikianlah perkataan Asy Syafi’i, dan bentuk kalimat menunjukkan hal itu. Lantaran Ibnu Abbas telah menyampaikan sisi pendalilannya tentang lewatnya dihadaan orang shalat tidaklah memutuskan shalat.

Hal ini di dukung oleh riwayat Al Bazzar: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat wajib dan di hadapannya tidak sesuatu untuk sutrah.” (Fathul Bari, Juz. 1, Hal. 125)

Sementara, Imam An Nawawi Rahimahullah berkata, ketika mengomentari hadits sutrah setinggi ‘pelana kuda’:


وَفِي هَذَا الْحَدِيث النَّدْب إِلَى السُّتْرَة بَيْن يَدَيْ الْمُصَلِّي وَبَيَان أَنَّ أَقَلّ السُّتْرَة مُؤْخِرَة الرَّحْل وَهِيَ قَدْر عَظْم الذِّرَاع
“Hadits ini menunjukkan sunah-nya meletakkan sutrah (pembatas) di depan orang shalat, dan juga terdapat penjelasan tentang ukuran minimal sutrah sebesar pelana kuda, yaitu kira-kira sepanjang satu hasta.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, Juz. 2, hal. 251, No hadits. 769. Al Maktabah Asy Syamilah)
Bagi mayoritas madzhab Asy Syafi’i, tidak menjadi masalah jika sutrah adalah garis saja. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَقَالَ جُمْهُور أَصْحَابه بِاسْتِحْبَابِهِ ، وَلَيْسَ فِي حَدِيث مُؤْخِرَة الرَّحْل دَلِيل عَلَى بُطْلَان الْخَطّ . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Menurut mayoritas sahabat-sahabatnya (Asy Syafi’i) sutrah adalah sunah, dan hadits tentang setinggi pelana kuda itu tidak menunjukkan kesalahan dengan membuat garis. Wallahu A’lam” (Ibid)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

وَفِي الْحَدِيثِ نَدْبٌ لِلْمُصَلِّي إلَى اتِّخَاذِ سُتْرَةٍ ، وَأَنَّهُ يَكْفِيهِ مِثْلُ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ

“Hadits ini menunjukkan sunah-nya bagi orang shalat menggunakan pembatas, dan sudah cukup baginya seumpama ukuran pelana kuda.” (Subulus Salam, Juz.1, Hal. 497. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Al Baghawi Rahimahullah berkata:

وَقَالَ الْبَغَوِيّ : اِسْتَحَبَّ أَهْلُ الْعِلْمِ الدُّنُوّ مِنْ السُّتْرَةِ بِحَيْثُ يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا قَدْرُ إِمْكَانِ السُّجُودِ ، وَكَذَلِكَ بَيْنَ الصُّفُوفِ .

“Para ulama menyunnahkan untuk mendekati sutrah (pembatas) dengan jarak antara dirinya dan sutrah seukuran tempat sujud, begitu pula halnya dengan mendekati shaf (yang di depannya, pen).” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 2, Hal. 243. Al Maktabah Asy Syamilah)

Diriwayatkan dari Khalid bin Abu Bakar, bahwa Al Qasim dan Salim, pernah shalat di gurun tanpa menggunakan sutrah.

Dari Jabir: aku pernah melihat Ja’far dan Amir shalat tanpa menggunakan pembatas. Dari Hisyam, bahwa: aku pernah melihat ayahku shalat tanpa sutrah. Mahdi bin Maimun mengatakan: aku pernah melihat Al Hasan shalat tanpa menggunakan sutrah. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, Juz. 1 Hal. 312. Al Maktabah Asy Syamilah)

Sementara Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah dalam Majmu' Fatawa Wa Rasa’il-nya juga mengatakan bahwa sutrah adalah sunnah mu’akadah. Begitu pula Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz hanya menyunnahkan.

Demikian para imam kaum muslimin yang tidak mewajibkan sutrah.

Para Ulama yang mewajibkan Sutrah

Bagi kelompok ini, hadits-hadits yang memerintahkan memasang pembatas menunjukkan kewajibannya, sebab hukum asal dari perintah adalah menunjukkan wajib selama belum ada dalil lain yang membelokkan kewajiban tersebut.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah tentang hadits: “Hendaklah dia shalat menggunakan pembatas.”

فِيهِ أَنَّ اتِّخَاذَ السُّتْرَةِ وَاجِب

“Di dalam hadits ini menunjukkan wajibnya menggunakan sutrah.” (Nailul Authar, Juz. 4, Hal. 204. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Al Qadhi ‘Iyadh membantah kebolehkan membuat batas (sutrah) sekedar garis.

وَاسْتَدَلَّ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى بِهَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّ الْخَطّ بَيْن يَدَيْ الْمُصَلِّي لَا يَكْفِي

“Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah berdalil dengan hadits ini bahwa membuat garis tidaklah mencukupi bagi orang yang shalat.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, Juz. 2, hal. 251, No hadits. 769. Al Maktabah Asy Syamilah)

Sebab hadits yang menyebutkan sutrah hanya sekedar garis adalah dha’if. Berikut keterangan dalam Syarh An Nawawi ‘ala Muslim:

وَلَمْ يَرَ مَالِك رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى وَلَا عَامَّة الْفُقَهَاء الْخَطّ . هَذَا كَلَام الْقَاضِي ، وَحَدِيث الْخَطّ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَفِيهِ ضَعْف وَاضْطِرَاب

“Imam Malik dan kebanyakan fuqaha tidaklah berpendapat tentang garis.” Demikianlah ucapan Al Qadhi. Dan hadits tentang garis diriwayatkan oleh Abu Daud, sanadnya idhtirab (goncang)” (Ibid).

Namun Imam Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram-nya membantah anggapan bahwa hadits tersebut idhtirab (goncang).

Demikian Para Imam yang mewajibkan sutrah.


C. Makmum Tidak Perlu Sutrah

Pembahasan di atas adalah kaitannya dengan shalat sendiri, dan bagi imam shalat. Adapun bagi makmum dalam shalat berjamaah, maka bagi mereka sutrah imam adalah sutrah bagi mereka juga. Imam Ibnu Hajar telah membahasnya secara detil dalam Fathul Bari-nya, pada Bab Sutratul Imam Sutratul Man Khalfahu, Bab: Sutrah Imam adalah Sutrah bagi orang di belakangnya. (Juz. 2, Hal. 237. Al Maktabah Asy Syamilah)

Tertulis dalam Fathul Bari:

وَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : حَدِيثُ اِبْن عَبَّاس هَذَا يَخُصُّ حَدِيثٌ أَبِي سَعِيد " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعُ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ " فَإِنَّ ذَلِكَ مَخْصُوص بِالْإِمَامِ وَالْمُنْفَرِد ، فَأَمَّا الْمَأْمُومُ فَلَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لِحَدِيثِ اِبْن عَبَّاس هَذَا ، قَالَ : وَهَذَا كُلُّهُ لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ

Berkata Ibnu Abdil Bar: “Hadits Ibnu Abbas ini menjadi takhsis (pembatas) bagi hadits Abu Said yang berbunyi ‘Jika salah seorang kalian shalat maka janganlah membiarkan seorang pun lewat di hadapannya,’ sebab hadits ini dikhususkan untuk imam dan shalat sendiri. Ada pun makmum maka tidak ada yang memudharatkannya siapa pun yang lewat di hadapannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh hadits Ibnu Abbas ini. Semua ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.” (Ibid)

Hadits Ibnu Abbas Yang dimaksud adalah sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاس بِمِنًى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” (HR. Muslim, Kitab Ash Shalah Bab Sutratul Mushalli, Juz. 3, Hal. 70, No hadits. 780. Al Maktabah Asy Syamilah)

Hadits ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas berjalan di depan shaf makmum, dan tidak seorang pun mencegahnya. Artinya, larangan melewati (berjalan) di depan orang shalat, hanya berlaku jika melewati imam dan orang yang shalatnya sendiri menurut keterangan riwayat ini, melewati di depan makmum (karena ada keperluan) tidaklah mengapa. Wallahu A’lam

D. Apa sajakah Sutrah itu?

Benda-benda yang bisa dijadikan sebagai pembatas (sutrah) adalah benda suci apa pun yang minimal setinggi pelana kuda. Bisa tiang mesjid, punggung manusia, dinding mesjid, batu besar, tas koper, dan lain-lain.

عن نافع أن ابن عمر كان يقعد رجلا فيصلي خلفه والناس يمرون بين يدي ذلك الرجل.

Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar sedang duduk lalu ada seorang laki-laki yang shalat di belakangnya, dan manusia lalu lalang di depan laki-laki tersebut. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah Juz. 1, hal. 313. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Anas bahwa para sahabat mendekati tiang mesjid ketika hendak shalat maghrib.

Sutrah Telah Mencukupi Dengan Garis

Inilah pandangan Imam Said bin Jubeir, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Al Baihaqi, Imam Ibnu Hajar, Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.

Dalilnya, hadits berikut:

إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu.” (HR. Ibnu Majah, Kitab Iqamah AshS halah was Sunnah fiha Bab Maa Yastutu Al Mushalli, Juz. 3, Hal. 201, No. 933. Ahmad, Juz. 15, Hal. 128, No. 7080. Ibnu Hibban, Juz. 10, Hal. 195. No. 2402. Al Maktabah Asy Syamilah)

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Al Hakim, Imam Ahmad, Imam Ali Al Madini, dan dihasankan oleh Ibnu Hajar. Sebagian ulama –seperti Imam Ibnush Shalah, juga Imam Al Mizzi (Maghani Al Akhyar, Juz. 1, Hal. 185)- mengatakan hadits ini idhtirab (goncang), namun dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. Beliau membawakan dua penguat, yakni pertama, hadits riwayat Ath Thabarani, dari Jalur Abu Musa Al Asy’ari, dari Abu Harun Al ‘Abdi, dan kedua, yakni riwayat dari Said bin Jubeir. Kata Al Hafizh Ibnu Hajar, rijal pada riwayat Said bin Jubeir ini tsiqat (kredibel). Namun Asy Syafi’i mendhaifkannya, tetapi anehnya Asy Syafi’i justru menjadikannya hujjah, sebagaimana tertera dalam Al Muktashar Al Kabir, karya Al Muzanni. (An Nukat ‘Ala Ibnish Shalah, Juz. 2, Hal. 773-774). Demikian pembelaan Al Hafizh Ibnu Hajar terhadap hadits ini.

Namun, penghasanan Al Hafizh Ibnu Hajar ini lemah, sebab:

1. Hadits di atas, dalam rawinya terdapat: Abu Amr bin Muhammad bin Huraits Al ‘Udzri.

Beliau ditsiqahkan oleh Imam Ibnu Hibban, dalam Ats Tsiqat (Juz. 4, Hal. 175). Namun, Imam Ibnu Hibban dikenal mudah mentsiqahkan. Oleh karena itu tidak cukup tautsiq darinya, tanpa pembanding yang lain. Dalam Al Musnad Al Jami’ (39/345) Imam Ibnu Hibban juga menceritakan siapa Abu Amr ini, yakn seorang Syaikh dari Madinah, dan Said Al Maqbari telah meriwayatkan darinya, begitu pula anaknya, Abu Amr sendiri meriwayatkan hadits dari akeknya, Huraits bin ‘Imarah, dari Abu Hurairah. Demikian dalam Al Musnad Al Jami’.

Tetapi, Abu Amr bin Mumahammad bin Huraits Al ‘Udzri ini dianggap seorang rawi yang majhul (tidak dikenal) menurut Imam Adz Dzahabi dan Abu Ja’far Ath Thahawi (Lisanul Mizan, 3/275-276, Tahdzibut tahdzib,12/162), tepatnya majhul di generasi keenam (Taqribut Tahdzib, 2/441). Anehnya adalah Al Hafizh ibnu Hajar mengetahui dalam kitabnya sendiri, Tahdzibut Tahzdib, bahwa Abu Amr ini adalah rawi yang majhul, tetapi dia tetap menghasankan.

Olehkarena itu sesuai kaidah, Jarh Mufassar muqaddamun ‘ala Ta’dilil ‘am, maka kritikan terhadap Abu Amr ini harus didahulukan dibanding pujiannya, apalagi yang mengkritik lebih banyak darinya.

2. Hadits yang djadikan penguat oleh Al Hafizh dalam An Nukat juga tidak bisa dijadikan sebagai syahid (penguat), sebab:

Penguat yang pertama, hadits riwayat Ath Thabarani, dari Jalur Abu Musa Al Asy’ari, dari Abu Harun Al ‘Abdi.
Riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil sebab, Abu Harun Al ‘Abdi ini seorang yang matruk



Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentarnya yang membangun dan menginspirasi ya...

Anda Pengunjung Ke :