Kamis, 20 Oktober 2011

Menengadahkan Tangan Ketika Berdoa, Bid’ah kah ??

Assalamu ‘Alaikum, Ust Ane mau nanya, Ane ada baca buku katanya berdoa dengan menengadahkan tangan adalah bid’ah, mohon penjelasannya? (dari 08575041xxx)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man Waalah, wa ba’d:
Tentang mengangkat tangan dalam berdoa telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Di antaranya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاء،ِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ ،وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وملبسه حرام وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لذلك
Lalu Beliau (Rasulullah) menyebutkan ada seorang laki-laki dalam sebuah perjalanan yang jauh, kusut dan berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit: “Wahai Rabb, wahai Rabb,” sedangkan makanannya haram, minumannnya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan yang haram, bagaimana bisa doanya dikabulkan?” (HR. Muslim No. 1015, At Tirmidzi No. 2989, Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan gharib. Ad Darimi No. 2717, Ahmad dalam Musnadnya No. 8348, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad mengatakan: isnaduhu hasan, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6187, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya No. 199, Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya No. 2009)
Dari Salman Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إنَّ ربكم تبارك وتعالى حَيِيٌّ كريم يستحي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفراً
“Sesungguhnya Rabb kalian Tabaraka wa Ta’ala yang Maha Pemalu, merasa malu terhadap hambaNya jika dia mengangkat kedua tangannya kepadaNya, dia mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong.” (HR. At Tirmidzi No. 3556, katanya: hasan gharib. Abu Daud No. 1488, Ibnu Majah No. 3856. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 2965. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1830, katanya: sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 1757)

Masih banyak riwayat lainnya, sebagaimana nanti yang akan kami sebutkan. Semua ini menunjukkan menengadahkan kedua tangan ketika berdoa adalah suatu hal yang disyariatkan, bahkan termasuk dari adab berdoa yang dengannya doa bisa dikabulkan, dan jelas-jelas bukan bid’ah.

Syaikh Ibnul ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

ومد اليدين إلى السماء من أسباب إجابة الدعاء،كما جاء في الحديث: إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحِييْ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفعَ يَديْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرَاً

“Membentangkan kedua tangan ke langit termasuk sebab dikabulkannya doa, sebagaimana hadits: Sesungguhnya Allah Yang Maha Malu dan Mulia, merasa malu terhadap hambaNya jika dia mengangkat kedua tangannya kepadaNya lalu dia mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong.” (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 138)

Kapankah Berdoa Dengan Mengangkat Kedua Tangan?

Berikut ini adalah berbagai riwayat tentang berdoa dengan mengangkat kedua tangan.

1. Doa Menjelang Perang

Dalam Shahih Muslim, bahwa Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menceritakan keadaan menjelang perang Badar, katanya:

لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي……
“Di hari ketika perang Badr, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memandangi kaum musyrikin yang berjumlah 1000 pasukan, sedangkan sahabat-sahabatnya 319 orang. Lalu Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap kiblat, kemudian dia menengadahkan kedua tangannya lalu dia berteriak memanggil Rabbnya: Ya Allah! Penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku …… (HR. Muslim No. 1763)

Al Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
وَفِيهِ : اِسْتِحْبَاب اِسْتِقْبَال الْقِبْلَة فِي الدُّعَاء وَرَفْع الْيَدَيْنِ فِيهِ ، وَأَنَّهُ لَا بَأْس بِرَفْعِ الصَّوْت فِي الدُّعَاء .

“Dalam hadits ini disunahkan menghadap ke kiblat ketika berdoa dan mengangkat kedua tangan, dan tidak apa-apa meninggikan suara ketika doa.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/213. Mawqi’ Ruh Al Islam)

2. Doa Ketika Meminta Hujan (Istisqa’)

Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِيٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ يَدْعُو وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ
“Datang seorang laki-laki Arab Pedalaman, penduduk Badui, kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jumat. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, ternak kami telah binasa, begitu pula famili kami dan orang-orang.” Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm mengangkat kedua tangannya, dia berdoa, dan manusia ikut mengangkat kedua tangan mereka bersamanya ikut berdoa.” (HR. Bukhari No. 983, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6242)

Dalam hadits ini bisa dimaknai bahwa mengangkat kedua tangan ketika doa istisqa adalah sunah dan dicontohkan oleh nabi, lalu diikuti oleh manusia saat itu dengan juga mengangkat tangan mereka, tetapi juga bisa dimaknai bahwa hal ini terjadi secara umum dan mutlak, seperti mendatangi orang shalih atau ulama untuk mendoakan manusia tentang hajat mereka, karena dalam kisah ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa kebolehan mengangkat kedua tangan itu khusus untuk istisqa’.

Sementara sebagian ulama menyatakan mengangkat tangan tinggi dalam berdoa hanya khusus pada istisqa’ . Sementara, Imam Bukhari menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa mengangkat kedua tangan ketika doa adalah mutlak dalam doa apa saja dan kapan saja.

Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah:

قَالُوا هَذَا الرَّفْعُ هَكَذَا وَإِنْ كَانَ فِي دُعَاءِ الِاسْتِسْقَاءِ ، لَكِنَّهُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِهِ ، وَلِذَلِكَ اِسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ فِي كِتَابِ الدَّعَوَاتِ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي مُطْلَقِ الدُّعَاءِ .

“Mereka mengatakan bahwa mengangkat tangan yang seperti ini jika terjadi pada doa istisqa, tetapi hadits ini tidaklah mengkhususkannya. Oleh karenanya, Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam kitab Ad Da’awat atas kebolehan mengangkat kedua tangan secara mutlak (umum) ketika berdoa.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/201-202. Cet. 2. Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)

Jika melihat berbagai riwayat yang ada, maka telah menjadi fakta bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangan dalam berbagai kesempatan doa bukan hanya istisqa’, ada pun sebagian ulama menyebtkan bahwa mengangkat tangan tinggi-tinggi hingga terlihat putih ketiaknya, hanya terjadi pada istisqa’, dalilnya adalah hadits dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu.

Berkata Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

“Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah sedikit pun mengangkat tangan dalam berdoa kecuali ketika istisqa’, dia mengangkat tangannya sampai terlihat putih ketiaknya.” (HR. Bukhari No. 984)

Apa yang diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu ini, tidaklah menggugurkan fakta bahwa nabi pernah mengangkat tangan ketika doa lainnya. Ada pun berdoa sampai terlihat ketiaknya, menurut penuturan Anas bin Malik hanya terjadi pada doa istisqa’.

Tetapi, benarkah mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika berdoa hanya ketika doa istisqa? nampaknya tidak demikian. Telah ada riwayat lain dengan sanad maushul (bersambung), yang tertera dalam Shahih Bukhari, bahwa Abu Musa Al Asy’ari pernah melihat nabi berdoa mengangkat tangan sampai terlihat ketiaknya, padahal itu bukan doa istisqa, melainkan doa ketika terbunuhnya paman Abu Musa Al Asy’ari.

Berikut ini tercatat dalam Shahih Bukhari, Kitab Ad Da’awat, sebagai berikut:
بَاب رَفْعِ الْأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ وَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ الْأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ وَشَرِيكٍ سَمِعَا أَنَسًا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ
Bab Mengangkat Kedua Tangan Ketika Doa. Berkata Abu Musa Al Asy’ari: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa lalu mengangkat kedua tangannya dan aku melihat ketiaknya yang putih.”

Berkata Ibnu Umar: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya dan berkata: “Ya Allah, aku bebaskan kepadamu dari apa-apa yang dilakukan Khalid (bin Walid).”

Berkata Abu Abdillah, bercerita kepadaku Al Ausi, bercerita kepadaku Muhammad bin Ja’far dari Yahya bin Sa’id dan Syarik, bahwa mereka berdua mendengar Anas bin Malik, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengangkat kedua tangannya sampai saya melihat ketiaknya yang putih.” (Selesai kutipan dari Shahih Bukhari)

Dari riwayat ini, kita melihat bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengangkat tangan dalam berbagai momen sesuai hajatnya dia berdoa. Sehingga riwayat ini telah memperluas dan melengkapi apa yang dikatakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya- bahwa nabi mengangkat tangan tinggi hingga terlihat ketiaknya hanya terjadi pada doa istisqa. Kenyataannya hal itu juga terjadi pada kesempatan lain.

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath tentang riwayat Abu Musa Al Asy’ari di atas:

هَذَا طَرَف مِنْ حَدِيثه الطَّوِيل فِي قِصَّة قَتْل عَمّه أَبِي عَامِر الْأَشْعَرِيّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ مَوْصُولًا فِي الْمَغَازِي فِي غَزْوَة حُنَيْنٍ

“Ini adalah akhir dari hadits yang panjang yang mengisahkan tentang terbunuhnya pamannya yang bernama Abu ‘Amir Al Asy’ari, dan telah dijelaskan bersambungnya sanad kisah ini dalam Al Maghazi, pada bahasan Ghazwah Hunain (Perang Hunain).” (Fathul Bari, 11/141)

Penuturan Al Hafizh Ibnu Hajar menunjukkan bahwa berdoa sampai terlihat ketiaknya yang putih, tidak hanya dilakukan nabi ketika istisqa’. Tetapi juga kesempatan yang lain. Wallahu A’lam

3. Mengangkat tangan dalam berbagai kesempatan doa

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

قدم الطفيل بن عمرو الدوسي على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: يا رسول الله! إن دوساً قدعصت وأبت، فادع الله عليها! فاستقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم القبلة ورفع يديه- فظن الناس أنه يدعو عليهم- فقال: "اللهم! اهدِ دوساً ….

“Ath Thufail bin Amru Ad Dausi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya suku Daus telah membangkang dan menolak, maka doakanlah mereka!” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya –manusia menyangka bahwa Beliau mendoakan mereka- dia berdoa: “Ya Allah, berikan petunjuk kepada suku Daus ….” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Shahih Adabul Mufrad, 478/611. Cet. 1, 1421H. Dar Ash Shiddiq)

Dari Ath Thufail bin Amru, tentang kisah seorang laki-laki yang berhijrah bersamanya. Dalam kisah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa:
اللهم وليديه فاغفر ورفع يديه
“Ya Allah, ampunilah kedua anaknya,” dan dia mengangkat kedua tangannya.(HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6963, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Ibnu Hibban No. 3017. Abu Ya’la No. 2175. Lihat juga Fathul Bari, 11/142. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Tetapi Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam Dhaif Adabil Mufrad, 1/215. Namun, Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya No. 116, tanpa menyebut: dia mengangkat kedua tangannya. Begitu pula dalam riwayat Ahmad No. 14982, juga Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 15613)

Dari ‘Ikrimah :

أنها رأت النبي صلى الله عليه وسلم يدعو رافعا يديه يقول: اللهم إنما أنا بشر…
“Bahwa ‘Aisyah melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa sambil mengangkat kedua tangannya: “Ya Allah sesungguhnya saya ini hanyalah manusia ...” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih Adabil Mufrad, 1/214. Fathul Bari, 11/142. Al Hafizh mengatakan: shahihul isnad- isnadnya shahih)

Imam An Nasa’i juga meriwayatkan dari Az Zuhri bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika setelah melontar jumrah dengan tujuh kerikil, dia mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. (HR. An Nasa’i No. 3083. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 3083. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 2972)

Dan masih banyak lagi doa nabi dengan mengangkat kedua tangannya. Al Hafizh Ibnu Hajar telah mengumpulkannya dalam Fathul Bari, di antaranya doa ketika gerhana, doa nabi untuk Utsman, doa nabi untuk Sa’ad bin ‘Ubadah, doa nabi ketika Fathul Makkah, doa nabi untuk umatnya, doa nabi ketika memboncengi Usamah, dan lainnya. Semuanya dengan sanad shahih dan jayyid, dan menyebutkan bahwa nabi mengangkat kedua tangannya ketika melakukan doa-doa tersebut. (Fathul Bari, 11/142)

4. Berdoa setelah shalat wajib; apakah mengangkat tangan?

Hal ini menjadi perselisihan pendapat di antara para ulama. Ada dua tema perbedaan mereka; Pertama. Adakah doa setelah shalat? Kedua. Jika ada, apakah juga mengangkat tangan?


Pertama. Adakah doa setelah shalat wajib?

Sebagian ulama menyatakan TIDAK ADA doa setelah shalat wajib, yang ada hanyalah dzikir. Inilah pandangan Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh ‘Utsaimin, dan lain-lain. Bagi mereka doa itu adanya dalam shalat, karena saat itulah ketika seorang hamba sedang berkomunikasi dengan Rabbnya. Bagi mereka, tidak ada dasarnya berdoa setelah shalat wajib dan sunah.
Apa alasan syar’inya? Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
أيُّ الدُّعاء أسمعُ؟ قال صلّى الله عليه وسلّم: «جوف الليل، وأدبار الصلوات المكتوبة»
“Doa manakah yang paling didengar? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Doa pada sepertiga malam terakhir, dan adbar ash shalawat maktubah. (Setelah shalat wajib).” (HR. At Tirmidzi, No. 3499. Syaikh Al Albani menghasankan hadts ini, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, No. 3499)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin- bahwa makna adbar ash shalawat bukanlah setelah shalat tetapi masih di akhir shalat (sebelum salam) . Mereka mengqiyaskan, bahwa hewan itu memiliki dubur (jamaknya adalah adbar), dan duburnya hewan masih pada tubuh hewan tersebut, bukan di luar tubuhnya. Selain itu beliau juga berdalil dengan ayat: Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), berdzikirlah kepada Allah ... (QS. An Nisa (4): 103). Bahkan Syaikh Ibnu tsaimin mengatakan berdoa setelah shalat wajb atau sunah adalah tidak ada dasarnya! (Lihat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 3/62. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Pendapat seperti ini juga disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad:
وأما الدعاء بعد السلام من الصلاة مستقبل القبلة أو المأمومين، فلم يكن ذلك مِن هديه صلى الله عليه وسلم أصلاً، ولا روي عنه بإسناد صحيح، ولا حسن.
وأما تخصيص ذلك بصلاتي الفجر والعصر، فلم يفعل ذلك هو ولا أحدٌ من خلفائه، ولا أرشد إليه أُمّته، وإنما هو استحسان رآه من رآه عوضاً من السنَّة بعدهما، واللّه أعلم. وعامة الأدعية المتعلقة بالصلاة إنما فعلَها فيها وأمر بها فيها
Ada pun berdoa setelah salam dari shalat dengan menghadap kiblat atau makmum, hal itu tak ada contoh dalam petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak diriwayatkan darinya baik hadits shahih atau hasan. Ada pun mengkhususkannya pada dua shalat; subuh dan ashar, tidak pernah Beliau lakukan, dan tidak juga seorang pun dari para khalifahnya, dan Beliau pun tidak mengajarkan kepada umatnya untuk itu. Itu hanyalah hal yang dipandang baik oleh orang yang memandangnya sebagai ganti dari sunah setelah kedua shalat itu. Wallahu A’lam. Umumnya doa-doa yang terkait dengan shalat, sesungguhnya itu dilakukan hanyalah di dalam shalat, dan diperintahkan membacanya di dalam shalat.” (Zaadul Ma’ad, 1/257)
Bukan hanya mereka, Imam Al Hafizh Abul Abbas Al Anshari Al Qurthubi juga mengatakan, duburush shalah (dengan huruf dal didhammahkan) adalah akhir shalat. (Imam Abul Abbas Al Anshari Al Qurthubi, Al Mufhim Lima Asykala min Talkhish Kitabi Muslim, 5/150. Maktabah Misykah)
Perlu diketahui, qiyas yang dilakukan Imam Ibnu Taimiyah telah dibantah oleh Imam Al Kasymiri, dia menyebut qiyas tersebut ghairu shahih (tidak benar), tidak pantas mengqiyaskan duburush shalah yang memiliki keindahan dan keutamaan, dengan dubur hewan yang tidak memiliki keindahan. (Imam Muhammad Anwarsyah bin Mu’zhamsyah Al Kasymiri, Al ‘urf Asy Syadzi, 1/459. Muasasah Dhuha Lin Nasyr wat Tauzi’) Di sisi lain, apa yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin bahwa berdoa setelah shalat sunah adalah tidak ada dasarnya, merupakan pendapat yang tidak kuat, sebab telah tsabit riwayat tentang doa setelah shalat sunah istisqa. Ada pun yang dikatakannya, bahwa doa setelah shalat wajib juga tidak ada dasarnya, maka berbeda sekali antara Syaikh Ibnu Utsaimin dengan Imam Al Bukhari dan Al Hafizh Ibnu Hajar –sebagaimana nanti akan kami jelaskan.
Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyanggah Imam Ibnul Qayyim dengan berbagai hadits shahih tentang contoh doa ba’da shalat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Lengkapnya lihat Fathul Bari, 11/133)
Begitu pula Imam Al Qasthalani telah menyanggah Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Al Mawahib sebagai berikut:
مَا اِدَّعَاهُ مِنْ النَّفْيِ مُطْلَقًا مَرْدُودٌ فَقَدْ ثَبَتَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ : يَا مُعَاذُ وَاَللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّك فَلَا تَدَعْ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِك وَشُكْرِك وَحُسْنِ عِبَادَتِك . أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ ، وَحَدِيثُ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ : سَمِعْته صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ . أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ ….

“Apa yang diklaim olehnya (Ibnul Qayyim) berupa pengingkaran secara mutlak adalah hal yang tertolak. Telah shahih dari Mu’adz bin Jabal bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Wahai Mu’adz, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu.” Lalu dia bersabda: “Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu’adz, jangan sampai kau tinggalkan pada setiap selesai shalat, ucapkanlah: “Allahumma A’inni ‘ala Dzikrika wa Syukrika wa Husni ‘Ibadatika.” (Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingatMu, bersyukur kepadaMu, dan kebaikan ibadah kepadaMu). (HR. Abu Daud dan An Nasa’i). Juga hadits Zaid bin Arqam: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa setelah shalat: Ya Allah Rabb kami, Rabb segala sesuatu.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan An Nasa’i … dst (Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197)
Yang lebih benar dalam pembahasan ini adalah bahwa makna duburush shalah adalah setelah shalat/setelah salam. Hal ini bisa diketahui dari riwayat Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barang siapa yang bertasbih (membaca Subhanallah) pada setiap selesai shalat 33 kali, tahmid (membaca Alhamdulillah) 33 kali, dan takbir (membaca Allahu Akbar) 33 kali, dan semuanya berjumlah 99.” Nabi bersabda: “Disempurnakan menjadi 100 dengan membaca Laa Ilaaha Illallah Wahdahu Laa Syariikalah Lahul Mulku wa lahul Hamdu wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir, maka akan diampuni dosa-dosanya walau pun banyak seperti buih di lautan.” (HR. Muslim, No. 597. Imam Abu Daud, No. 1504. Imam Ahmad, No. 8478)
Lihat hadits ini, Rasulullah memerintahkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing 33 kali pada setiap duburush shalah. Tentunya duburush shalah adalah setelah shalat (setelah salam), sebab doa-doa ini masyhur dari zaman ke zaman di seluruh dunia Islam, dibacanya setelah shalat selesai, bukan diakhir shalat sebelum salam. Imam At Tirmidzi pun memasukkan hadits ini dalam BAB MAA JA’A FI TASBIH FI ADBAR ASH SHALAH (Riwayat Tentang Bertasbih Setelah Shalat). Tak ada satu pun ulama yang mengatakan membaca dzikir ini adalah di akhir shalat sebelum salam.
Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah:

قُلْت : قَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِالذِّكْرِ دُبُرَ الصَّلَاةِ وَالْمُرَادُ بِهِ بَعْدَ السَّلَامِ إِجْمَاعًا
“Saya berkata: telah datang riwayat tentang dzikir saat duburish shalah, dan yang dimaksud adalah setelah salam menurut ijma’.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197)

Pandangan Para Ulama Ahlus Sunnah
Imam Al Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, jauh sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan bahwa tidak ada berdoa setelah shalat wajib, telah menulis Bab Ad Du’a Ba’da Ash Shalah (Bab Tentang Doa Setelah Shalat).
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
قوله: "باب الدعاء بعد الصلاة" أي المكتوبة، وفي هذه الترجمة رد على من زعم أن الدعاء بعد الصلاة لا يشرع
“Ucapannya (Al Bukhari), “Bab Tentang Doa Setelah Shalat” yaitu shalat wajib. Pada bab ini, merupakan bantahan atas siapa saja yang menyangka bahwa berdoa setelah shalat tidak disyariatkan.” (Bantahan lengkap beliau terhadap Imam Ibnul Qayyim, lihat di Fathul Bari, 11/133-135. Darul Fikr)
Imam Ja’far Ash Shadiq Radhiallahu ‘Anhu berkata:
الدعاء بعد المكتوبة أفضل من الدعاء بعد النافلة كفضل المكتوبة على النافلة.

“Berdoa setelah shalat wajib lebih utama dibanding berdoa setelah shalat nafilah, sebagaimana kelebihan shalat wajib atas shalat nafilah.” (Fathul Bari, 11/134. Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197. Darus Salafiyah. Lihat juga Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 10/94. Maktabah Ar Rusyd)
Sementara Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah juga mengatakan:
لا ريب في ثبوت الدعاء بعد الانصراف من الصلاة المكتوبة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قولاً وفعلاً، وقد ذكره الحافظ بن القيم أيضاً في زاد المعاد حيث قال في فصل: ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول بعد انصرافه من الصلاة ما لفظه: وقد ذكر أبو حاتم في صحيحه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول عند إنصرافه من صلاته اللهم أصلح لي ديني الذي جعلته عصمة أمري ، واصلح لي دنياي التي جعلت فيها معاشي...

“Tidak ragu lagi, kepastian adanya berdoa setelah selesai shalat wajib dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik secara ucapan atau perbuatan. Al Hafizh Ibnul Qayyim telah menyebutkan juga dalam Zaadul Ma’ad ketika dia berkata dalam pasal: Apa-apa Saja yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Ucapkan Setelah selesai shalat. Demikian bunyinya: Abu Hatim telah menyebutkan dalam Shahih-nya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata setelah selesai shalatnya: “Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang telah menjaga urusanku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya ...” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197)
Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Rahimahullah :
"في دبر كل صلاة" : أي عقبها وخلفها أو في آخرها
“Pada dubur kulli ash shalah, yaitu setelah dan belakangnya, atau pada akhirnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/269. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam Badruddin Al ‘Aini juga juga mengatakan:
واستحباب المواظبة على الدعاء المذكور عقيب كل صلاةٍ
“Dan disunahkan menekuni doa dengan doa tersebut pada setiap selesai shalat.” (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 5/433. Maktabah Ar Rusyd)

Para ulama Kuwait, yang tergabung dalam Tim penyusun kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah mengatakan:

يُسْتَحَبُّ لِلإِْمَامِ وَالْمَأْمُومِينَ عَقِبَ الصَّلاَةِ ذِكْرُ اللَّهِ وَالدُّعَاءُ بِالأَْدْعِيَةِ الْمَأْثُورَةِ

“Disukai bagi imam dan makmum setelah selesai shalat untuk berdzikir kepada Allah dan berdoa dengan doa-doa ma’tsur.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 6/214. Wizaratul Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)
Dalam kitab yang sama juga disebutkan:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ مَا بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوضَةِ مَوْطِنٌ مِنْ مَوَاطِنِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ
“Pendapat mayoritas fuqaha adalah bahwa waktu setelah shalat fardhu merupakan waktu di antara waktu-waktu dikabulkannya doa.” (Ibid, 39/227). Di halaman yang sama, dikutip perkataan Imam Mujahid sebagai berikut:
إِنَّ الصَّلَوَاتِ جُعِلَتْ فِي خَيْرِ الأَْوْقَاتِ فَعَلَيْكُمْ بِالدُّعَاءِ خَلْفَ الصَّلَوَاتِ
“Sesungguhnya pada shalat itu, dijadikan sebagai waktu paling baik bagi kalian untuk berdoa, (yakni) setelah shalat.” (Ibid)
Demikianlah dalil-dalil yang sangat jelas tentang doa setelah shalat, tentang makna duburus shalah, dan pandangan para ulama tentang hal ini.

Kedua. Apakah Berdoa setelah shalat juga mengangkat kedua tangan?

Dalam masalah ini telah terjadi khilafiyah para ulama, antara yang membolehkan dan membid’ahkan. Dan, Imam Al Bukhari dan lainnya mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah mutlak dilakukan pada semua doa dan keadaan, termasuk setelah shalat. Ada pun pihak yang membid’ahkan punya alasan sederhana yakni berdoa setelah shalat dengan mengangkat kedua tangan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak memiliki dasar baik secara qauli dan fi’li dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka, hendaknya kedua pihak –baik yang pro dan kontra- memahami betul posisi masalah ini; tidak saling menyudutkan, tidak saling menyalahkan, karena keduanya memiliki dasar yang benar menurut sudut pandang masing-masing.
Hal ini sesuai kaidah:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, hal. 185)
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 6/368. Imam Khathib Al Bagdhadi, Al Faqih wal Mutafaqih, 2/355. Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 2/204)
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
“Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Selanjutnya ...........
Dalam masalah ini mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat, secara ringkas saya ambil dari penjelasan Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah, katanya:
اعلم أن علماء أهل الحديث قد اختلفوا في هذا الزمان في أن الإمام إذا انصرف من الصلاة المكتوبة هل يجوز له أن يدعو رافعاً يديه ويؤمن من خلفه من المأمومين رافعي أيديهم فقال بعضهم بالجواز ، وقال بعضهم بعدم طناً منهم أنه بدعة ، قالوا إن ذلك لم يثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بسند صحيح بل هو أمر محدث وكل محدث بدعة وأما القائلون بالجواز فاستدلوا بخمسة أحاديث....
“Ketahuilah, bahwa para ulama ahli hadits telah berbeda pendapat tenang seorang imam yang sudah selesai shalat wajib, bolehkah dia berdoa dengan mengangkat tangan dan diaminkan oleh makmum di belakangnya yang juga mengangkat tangan? Sebagian mereka mengatakan boleh, sebagian lain mengingkarinya dan menyatakan bid’ah. Mereka mengatakan sesungguhnya hal itu tidak ada yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad shahih. Bahkan itu adalah perkara baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah. Ada pun kalangan yang membolehkan berdalil dengan lima hadits ..” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/198)
Lalu, Syaikh Al Mubarkafuri menyebutkan lima hadits itu secara rinci: (Saya akan sebutkan secara ringkas sebagai berikut)
Hadits terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa setelah selesai shalat Nabi menghadap kiblat dan mengangkat tangan lalu mendoakan kebebasan bagi Al Walid bin Al Walid, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, dan Salamah bin Hisyam, serta kaum muslimin yang lemah, karena tidak mampu dan tidak ada petunjuk keluar dari mara bahaya orang kafir. Ibnu Jarir juga meriwayatkan hal serupa, dan disebutkan bahwa itu setelah shalat zhuhur. Hadits ini memiliki syahid (penguat) dalam kitab shahih. Namun, Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat Ali bin Zaid bin Jud’an seorang rawi yang diperbincangkan.
Muhammad bin Yahya Al Aslami mengatakan: aku melihat Abdullah bin Az Zubeir, dia sedang memerhatikan seseorang yang berdoa mengangkat tangan sebelum shalat usai. Setelah itu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah mengangkat tangannya dalam berdoa, kecuali setelah selesai shalat.” Al Haitsami mengatakan rijal hadits ini tsiqat (kredibel).
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wa Lailah, dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang hamba menengadahkan tangannya setelah shalat lalu berdoa, “Ya Allah Tuhanku, Tuhannya Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Jibril, Mikail, ...dst.” Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Qursyi, seorang rawi yang didhaifkan para Imam seperti Ahmad, An Nasa’i, dan Ibnu Hibban,
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf, dari Al Aswad Al ‘Amiri, dari ayahnya, katanya: Aku pernah shalat subuh bersama Rasulullah, setelah selesai shalat beliau mengangkat tangannya dan berdoa.” Hadits ini tidak disebutkan sanadnya, Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan tidak diketahui shahih tidaknya hadits ini.
Hadits Imam At Tirmidzi, dari Al Fadhl bin Abbas, bahwa Rasulullah mengatakan: “Shalat it dua rakaat dua rakaat, dalam dua rakaat ada satu tasyahhud, lakukanlah secara khusyu’, tadharru’, kemudian bedoa mengangkat kedua tangan, meninggikan keduanya menuju Rabbmu, menghadap kiblat dengan wajah dan badanmu, barangsiapa yang tidak demikian maka dia begini dan begini.” Dalam riwayat lain: “Tidak sempurna.”
Selain dengan lima hadits ini, kelompok ini juga berdalil dengan keumuman hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Mereka mengatakan bahwa berdoa setelah shalat wajib dianjurkan dengan mengangkat tangan, dan telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa beliau berdoa setelah shalatnya, dan mengangkat kedua tangan merupakan adab berdoa. Dan telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangan pada kebanyakan doanya, dan tidak ada larangan yang yang pasti tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa setelah shalat wajib. Oleh karena itu kelompk ini membolehkannya.
Selain alasan-alasan ini, Syaikh Al Mubarkafuri juga melandaskannya dengan dalik-dalil lainnya. Setelah panjang lebar beliau menjelaskan, beliau berkesimpulan sebagai berikut:
قلت: القول الراجح عندي أن رفع اليدين في الدعاء بعد الصلاة جائز لو فعله أحد لا بأس عليه إن شاء الله تعالى والله تعالى أعلم.
“Aku berkata: “Pendapat yang rajih (kuat) menurutku adalah bahwa mengangkat kedua tangan setelah shalat wajib adalah boleh, walau dilakukan oleh seseorang saja, maka itu tidak mengapa. Insya Allah. Wallahu A’lam.” (Idem, 2/202)

Jadi, Syaikh Al Mubarkafuri hanya mengatakan kebolehan bagi satu orang yang berdoa setelah shalat wajib dengan mengangkat kedua tangannya, beliau tidak mengatakan sunah apalagi wajib. Bahkan, di halaman yang sama, beliau mengkritik kalangan hanafiyah modern yang mewajibkan secara tekun mengangkat kedua tangan ketika berdoa setelah usai shalat wajib. Demikian.

Wallahu A’lam

Farid Nu'man Hasan

sumber:

http://www.islamedia.web.id/2011/10/menengadahkan-tangan-ketika-berdoa.html
Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Selasa, 19 Juli 2011

Hukum Puasa Setelah Pertengahan Bulan Syaban


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebagian orang menganggap bahwa puasa setelah pertengahan sya'ban tidak dibolehkan karena ada beberapa hadits yang melarang ini. Tulisan kali ini akan meninjau lebih jauh bagaimanakah yang tepat dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.
Larangan Puasa Setelah Pertengahan Sya'ban
Ada beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)
Dalam lafazh lain,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai dating Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)
Dalam lafazh yang lain lagi,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga dating bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.
Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ’Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.
Al Atsrom mengatakan,“Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

At Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus). Bahkan Ath Thohawiy menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut.
Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak ada masalah puasa setelah pertengahan sya'ban karena hadits larangan tersebut termasuk hadits lemah, apalagi jika punya kebiasaan puasa.
Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:
Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)
Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan?
Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan.
Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyambungkan shalat wajib dengan shalat sunnah tanpa diselangi dengan salam atau dzikir terlebih dahulu. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

sumber: http://rumaysho.com/

Sabtu, 16 Juli 2011

Kultwit Salim A Fillah tentang malam Nishfu Sya'ban

dari Kultwitnya Ust. Salim A. Fillah:

1. Keutamaan #Sya‘ban bisa dilihat di: Tahdzib Sunan Abu Dawud, 1/494, Latha’iful Ma’arif, 1/244. Nah, bagaimana tentang Nishfu Sya’ban?

2. Hadits-hadits terkait Nishfu #Sya‘ban ini sebagian dikategorikan dha’if (lemah), dan bahkan sebagian lagi dikategorikan maudhu’ (palsu).

3. Terutama hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu atau yang menjanjikan jumlah & bilangan pahala atau balasan tertentu. #Sya‘ban

4. TETAPI, ada satu hadits yang berisi keutamaan malam Nisfhu #Sya‘ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu.

5. إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ #Sya‘ban

6. “Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu #Sya‘ban. Lalu Dia mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali yang berbuat syirik atau yang bertengkar dengan saudaranya.” HR Ibnu Majah (1390). Dalam Zawa’id beliau, riwayat ini dinyatakan dha’if karena adanya Rawi yang dianggap lemah. TETAPI, Ath Thabrani juga meriwayatkannya dari Mu’adz ibn Jabal dalam Mu’jamul Kabir (215)

7. Ibnu Hibban juga mencantumkan hadits ini dalam Shahih-nya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642)

8. Al-Arna’uth dalam ta’liqnya pada 2 kitab terakhir berkata, “Shahih dengan syawahid (riwayat-riwayat semakna yang mendukung)."

9. AL-ALBANI juga menilai hadits Nishfu #Sya‘ban ini shahih {cek Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), Shahih Targhib wa Tarhib (1026)}

10. Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, 291)

11. Karena itu, terdapat sebagian ulama salaf dari kalangan tabi’in di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan & Luqman bin Amir yang menghidupkan malam ini dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu pada malam Nishfu #Sya‘ban tersebut.

12. Dari merekalah kaum muslimin mengambil kebiasaan ini. Imam Ishaq ibn Rahawayh menegaskannya dengan berkata, “Ini bukan bid’ah!”

13. ‘Ulama Syam lain, misalnya Imam Al-Auza’i tidak menyukai perbuatan berkumpul di masjid untuk shalat & berdoa bersama di Nishfu #Sya‘ban.

14. Tapi beliau -& para ‘ulama lainnya- menyetujui keutamaan shalat, baca Al Quran dll pada Nishfu #Sya‘ban jika dilakukan sendiri-sendiri.

15. Pendapat ini juga dikuatkan Ibn Rajab Al-Hanbali (Latha’iful Ma’arif, 151) & Ibn Taimiyah (Mukhtashar Fatawa Al Mishriyah, 292)

16. Adapun ‘ulama Hijjaz mis. Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, & para pengikut Imam Malik menganggap ibadah terkait Nishfu #Sya‘ban sebagai bid’ah.

17. TAPI kata mereka; qiyamullail sebagaimana tersunnah di malam lain & puasa pada siangnya sebab termasuk Ayyamul Bidh ialah baik.

18. Demikian; agar perbedaan pendapat ini difahami & tak menghalangi kita untuk melaksanakan segala ‘amal ibadah utama pada bulan #Sya‘ban.

Selasa, 31 Mei 2011

Tentang Dr. Yusuf Al Qorodlhowi

Assalamualaikum blogger yang budiman...
beberapa saat yang lalu saya membaca tulisan di facebook yang menurut saya berisi fitnah yang bertubi-tubi terhadap Syekh Dr. Yusuf Al Qorodlhowi. ketika saya minta klarifikasi data dll serta saya beri nasehat untuk tidak asal fitnah hanya bermodal "katanya" atau dapat "copas" dari blog seseorang di internet yang barangkali blog itu merupakan milik orang yang "sepaham" dengannya, tiba2 di tengah chating akun fb yang yang menuliskan artikel tersebut dinonaktifkan atau mungkin akun fb saya yang diblok oleh pemilik akun tersebut. nah untuk sebagai upaya memandang atau menilai Dr. Yusuf Al Qorodlhowi secara objektif sebagaimana penilaian orang2 besar yang pernah berinteraksi langsung dengan beliau, saya berinisiatif meng"copas" tulisannya ust. Farid Nu'man sebagai berikut:

Kesaksian Para Ulama Terhadap Syaikh Yusuf al Qaradhawy -hafizhahullah
Farid Nu’man

Mukaddimah

Pada edisi-edisi sebelumnya telah kami paparkan kesaksian ulama dunia terhadap Imam Hasan al Banna, Asy Syahid Sayyid Quthb, Asy Syahid Abdullah ‘Azzam, dan Asy Syahid Ahmad Yasin –rahimahumullah. Kali ini akan kami paparkan pula kesaksian para ulama dunia terhadap seorang ‘alim besar yang dibesarkan dalam madrasah da’wah Al Ikhwan, yang oleh majalah Al Muslimun-nya Persatuan Islam (Persis) disebut sebagai mujtahid abad ini, yaitu Dr. Yusuf al Qaradhawy –semoga Allah menjaganya dan menjadikan ilmunya bermanfaat bagi manusia. Sejak kecil ia sudah dipanggil al ‘Allamah (yang luas ilmunya) oleh staf pengajar di sekolah tingkat dasar Al Azhar, lantaran kecerdasannya. Bahkan pada masa-masa itu ia sudah memberikan ceramah, kuliah, seminar, bahkan fatwa seputar fikih sehari-hari. Ini mengingatkan kita kepada Imam asy Syafi’i -radhiallahu ‘anhu- yang sudah diminta memberikan fatwa pada usia lima belas tahun.

Memang ada yang mengkritiknya –dan itu hal yang biasa- baik dengan bahasa yang bijak atau kasar, ilmiah atau emosianal, seperti buku Membongkar Kedok Al Qaradhawy dan Menimbang Yusuf al Qaradhawy. Upaya jarh (celaan-kesaksian negatif) terhadapnya dari kalangan yang bukan ahli jarh wa ta’dil tentu tidak usah dirisaukan. Justru yang pantas kita simak adalah ta’dil (pujian-kesaksian positif) yang diperolehnya dari ulama dunia. Kami hanya bisa mengatakan, separah apapun manusia merendahkannya dan mencelanya dengan seburuk-buruknya celaan, mereka tidak bisa mengubah kedudukannya yang terlanjur istimewa di mata ulama dunia. Kedudukannya yang terhormat dalam komisi fatwa Rabithah ‘Alam Islami, Organisasi Konferensi Islam, Komisi Fatwa Eropa, Majelis Tinggi Universitas Islam Madinah, yang di dalamnya juga berkumpul para ulama dunia, membuktikan bahwa kehadirannya, dan ilmu yang dimilikinya adalah pandangan yang diperhitungkan dan dihormati para ulama tersebut. Tidaklah ada pertemuan ulama dunia, melainkan Yusuf al Qaradhawy tampak dalam barisan mereka. Anehnya, orang-orang yang hobi menyerangnya, justru tidak ikut dalam barisan mereka. Sebagaimana kata orang bijak, hanya orang besar yang bisa menghormati orang besar.

Kritikan tetaplah dinilai kritikan, namun itu semua tidaklah menghapuskan segala nilai kebaikan dan perjuangan yang diperbuatnya dan penghargaan yang telah diterimanya. Pada tahun 1411H ia mendapat penghargaan dari IDB (Islamic Development Bank) dalam bidang Ekonomi Islam. Tahun 1413H ia mendapat King Faisal Award bersama Syaikh Sayyid Sabiq –rahimahullah- sebagai penghargaan dalam bidang studi Islam. Tahun 1996M ia mendapat penghargaan dari Internasional Islamic University Malaysia dalam bidang ilmu pengetahuan. Tahun 1997M ia mendapat penghargaan dari Sultan Hasan al Bolkiah dalam bidang fikih Islam. tahun 1999M/1420H, ia mendapatkan penghargaan dari Al ‘Uwais karena pengabdiannya dalam ilmu pengetahuan.

Apa kata Ulama tentang Syaikh Yusuf al Qaradhawy?

Hasan al Banna –rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya dia –Al Qaradhawy- adalah seorang penyair berbakat dan jempolan. Yusuf al Qaradhawy bertemu Hasan al Banna pada saat usianya masih sangat belia.

Mantan mufti Kerajaan Saudi Arabia dan mantan ketua Hai’ah Kibar al Ulama, Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Buku-bukunya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam.” Dalam masalah perdamaian Palestina – Israel, Syaikh bin Baz berselisih paham dengan Syaikh al Qaradhawy. Syaikh bin Baz menyetujui perdamaian sedangkan Syaikh al Qaradhawy tidak. Keduanya saling memberikan bantahan dengan bahasa yang sangat indah dan sopan. Keduanya saling memuji dengan panggilan-panggilan yang mengandung keluhuran akhlak keduanya. Silakan lihat dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid III, Pustaka al Kautsar.

Syaikh al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albany –rahimahullah- berkata dalam Muqaddimah kitabnya, Ghayatul Maram fi Tahkrijil Hadits al Halal wal Haram, kitab yang mentakrij hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Halal wal Haram fil Islam-nya Syaikh al Qaradhawy, berkata, “Saya diminta (Al Qaradhawy) untuk meneliti riwayat hadits serta menjelaskan keshahihan dan kedhaifan hadits yang terdapat dalam bukunya (Al Halal wal Haram). Hal itu menunjukkan ia memiliki akhlak yang mulia dan pribadi yang baik. Saya mengetahui itu semua secara langsung. Setiap saya bertemu dia dalam satu kesempatan, ia akan selalu menanyakan kepada saya tentang hadits atau masalah fikih. Dia melakukan itu agar ia mengetahui pendapat saya mengenai masalah itu dan ia dapat mengambil manfaat dari pendapat saya tersebut. Itu semua menunjukkan kerendahan hatinya yang sangat tinggi serta kesopanan dan adab yang tiada tara. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mendatangkan manfaat dengan keberadaan.” Demikian kesaksian Syaikh al Albany terhadap Syaikh al Qaradhawy. Mereka berdua memiliki hubungan ilmiah yang baik sebagaimana yang diceritakan dalam buku biografi Syaikh al Albany. Walau terjadi perbedaan pandangan fikih di antara mereka seperti masalah nyanyian dan musik, zakat pertanian, seputar masalah hadits, dan lain-lain, itu semua tidak merubah hubungan baik mereka.

Al ‘Allamah Abul Hasan an Nadwi rahimahullah –pemikir Islam terkenal dari India- berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang ‘alim yang sangat dalam ilmunya sekagus sebagai pendidik kelas dunia.”

Al ‘Allamah Musthafa az Zarqa’ –ahli fikih dari Suriah- berkata, “Al Qaradhawy adalah hujjah zaman ini dan ia merupakan nikmat Allah atas kaum muslimin.”

Al Muhaddits Abdul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah –ahli fikih dari Suriah dan tokoh Ikhwanul Muslimin- dia berkata, “Al Qaradhawy adalah mursyid kita. Ia adalah seorang ‘Allamah.”

Syaikh Qadhi Husein Ahmad –Amir Jamiat Islami Pakistan- berkata, “Al Qaradhawy adalah madrasah ilmiah dan da’awiyah. Wajib bagi umat untuk mereguk ilmunya yang sejuk.”

Syaikh Thaha Jabir al Ulwani –Direktur International Institute of Islamic Thought di As- berkata, “Al Qaradhawy adalah faqihnya para da’i dan da’inya para faqih.”

Syaikh Muhammad al Ghazaly rahimahullah¬ –Ulama besar mesir, tokoh Ikhwan dan guru Al Qaradhawy, “Al Qaradhawy adalah seorang imam kaum muslimin zaman ini yang mengabungkan fikih anatara akal dan atsar.” Ketika ditanya lagi tentang Al Qaradhawy, ia menjawab, “Saya gurunya, tetapi ia ustdazku. Syaikh dulu pernah menjadi muridku, tetapi kini ia telah menjadi ustadzku.”

Syaikh Abdus Salam –ulama dan da’i terkenal- berkata, “Al Qaradhawy adalah pemimpin penuh hikmah dalam meretas orisinalitas dan tajdid serta tauhid. Ia bagaikan sebutir buah ranum yang dihasilkan da’wah Imam Syahid Hasan al Banna.”

Syaikh Abdullah bin Baih –dosen Universitas Malik Abdul Aziz di Saudi- berkata dalam pujian yang sangat panjang, kami ringkas, “Sungguhnya Allamah Dr. Yusuf al Qaradhawy adalah sosok yang tidak perlu lagi pujaan karena ia seorang ‘alim yang memiliki keluasan ilmu bagaikan samudera. Ia adalah seorang da’i yang sangat berpengaruh. Seorang murabbi generasi Islam yang sangat jempolan dan seorang reformis yang berbakti dengan amal dan perkataan. Ia sebarkan ilmu dan hikmah karena ia sosok pendidik yang profesional.

Lebih dari itu, sesungguhnya Syaikh al Qaradhawy bukanlah seorang faqih yang hanya menyodorkan solusi teoritis mengenai masalah-masalah umat saat ini –masalah ekonomi, sosial dan lainnya- tetapi ia adalah seorang praktisi lapangan yang tangguh dan langsung turun ke lapangan. Ia telah menyumbangkan kontribusinya yang sangat besar dalam mendirikan pusat-pusat kajian keilmuan, universitas-universitas, dan lembaga-lembaga bantuan. Ringkasnya, Al Qaradhawy adalah seorang imam dari para imam kaum muslimin masa kini dan ia adalah seorang Syaikhul Islam masa kini.”

Syaikh Abdullah al ‘Aqil –mantan sekretaris Liga Muslim dunia- berkata, “Al Qaradhawy adalah laki-laki yang tahu langkah da’wah sekaligus sebagai faqih zaman ini.”

Syaikh Abdul Majid az Zindani –da’i dan tokoh harakah asal Yaman- berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang ‘alim dan mujahid.”

Syaikh Abdul Qadir al Umari –mantan ketua Mahkamah Syariah Qatar- berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang faqih yang membawa kemudahan-kemudahan.”

Syaikh Muhammad Umar Zubeir berkata, “Al Qaradhawy adalah pembawa panji kemudahan dalam fatwa dan kabar gembira dalam da’wah.”

Syaikh Dr Muhammad Fathi Utsman –seorang pemikir Islam terkenal- berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang tokoh dan da’i yang memiliki mata hati yang tajam dan melihat realitas.”

Syaikh Adil Husein –penulis muslim dan tokoh Partai Amal di Mesir- berkata, “Al Qaradhawy adalah ahli fikih moderat zaman ini.”

Syaikh Rasyid al Ghanusyi –tokoh harakah dan ketua partai nahdhah di Tunisia- berkata, “Ia adalah Imam Mujaddid. Al Qaradhawy adalah lisan kebenaran yang memberikan pukulan keras kepada orang-orang munafik di Tunisia.”

Syaikh Ahmad ar Rasyuni –ketua Jamaah Tauhid Maroko- berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang faqih yang mengerti penerapan syariah.”

Syaikh Umar Nashef –Direktur Universitas King Abdul Aziz- berkata, “Al Qaradhawy berada pada puncak pengabdiannya pada ilmu pengetahuan.”

Syaikh Adnan Zarzur –Profesor dan ketua Dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Qatar- berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang mujaddid. Ia adalah faqih dan mujtahid zaman ini. Al Qaradhawy telah berhasil menggabungkan ketelitian seorang faqih, semangat da’i, keberanian seorang mujaddid, dan kemampuan seorang imam. Al Qaradhawy telah membangun da’wah Islam dalam fiqih dan ijtihad.”

Ustadz Isham Talimah mengutip perkataan seorang ulama, “Andaikata Al Qaradhawy hanya mengarang buku Fikih Zakat, dia akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dianggap membaktikan dirinya di bidang ilmiah untuk kepentingan Islam dan Umat Islam.”

Imam Abul A’la al Maududi rahimahullah mengatakan bahwa Fiqih Zakat adalah buku zaman ini dalam fikih islam. Para spesialis masalah zakat mengatakan belum ada satu karya pun yang memandingi Fiqih Zakat karya Al Qaradhawy.

Demikian kesaksian positif para Ulama dan Tokoh Islam dunia terhadap Syaikhuna, Dr. Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah. Wallahu A’lam




Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Sabtu, 16 April 2011

Belajar LINUX

Para blogger dan pembaca budiman yang baik hati, tidak sombong, rajin menabung dan berbakti kepada kedua orang tua (emang apa hubunganya...??? ^_^) ini ada link yang bagus buat belajar dasar2 LINUX khusunya ubuntu bagi yang mau...untuk yang berminat silahkan klik disini


Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Jumat, 15 April 2011

Guruku

guruku
hadirmu adalah cahaya
penerang hidup penguat rasa
memeberi tanpa meminta
pelipur duka dikala lara

nasihatmu bagai permata
pengisi akal penghias jiwa
kata-katamu laksana mutiara
bertahta indah di samudra cerita
hari-hari perjuangan menuju ridhoNya

guruku
bersamamu daku belajar
memaknai hidup merajut cinta
bersamamu daku berlatih
memupuk sabar menjaga hati nan bersih
agar bermakna setiap kisah
yang kulalui dalam sejarah

akhirnya
terimakasih ku ungkapkan
atas setiap goresan kisah kehidupan
dan bermaknanya setiap catatan
bekal hidup menuju kematian

semoga Allah memberkahi hidupmu
dan senantiasa terus menerus menjagamu
agar terus memberi dalam kemuliaan
agar terus terjaga dalam keikhlasan
hingga Ia berkenan menyatukan
setiap kita dalam barisan
kafilah penghuni syurga yang dijanjikan
amin...




Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Kamis, 14 April 2011

Pandangan Para Ulama Terhadap Musyarakah Siyasiyyah

Oleh: Farid Nu’man

Pro kontra aktifis Islam ikut aktif dalam pemerintahan non Islam, dalam rangka mengawasi, mengawal, dan meluruskan, setiap potensi kecurangan, mudharat, yang akan pemerintahan tersebut hasilkan melalui undang-undang keputusan mereka, telah menyita perhatian para penggiat kebangkitan Islam. Ada yang setuju dengan berbagai syarat, ada pula yang menolak sama sekali dengan alasan tidak boleh bergabung dengan system thaghut.

Lalu bagaimana pandangan syariah tentang ini? Bagaimana sikap para Imam Ahlus Sunnah? Berikut saya tuliskan artikel, sebagai sumbangsih pemikiran, yang semoga membawa sikap tawasuth (pertengahan), dengan pandangan para Imam yang jernih, brilian dan cerdas.

Makna Musyarakah

Musyarakah Siyasiyyah berarti keterlibatan gerakan dakwah dalam mengambil keputusan yang terkait dengan kemaslahatan umum di lembaga-lembaga politik formal maupun informal, di tingkat nasional atau daerah beserta seluruh aktifitas yang mengikutinya seperti pemilihan umum, koalisi, dan aktifitas politik lainnya. (Fatwa Mujamma’ Fuqaha Syariah di Amerika dalam Mu’tamar ke-4 di Kairo Mesir, 28 Juli-2 Agustus dengan sedikit perubahan redaksi)

Partisipasi dalam pemerintahan merupakan tuntutan syumuliyatud da’wah (universalitas da’wah) yang harus menyentuh semua aspek kehidupan. Partisipasi dalam pemerintahan (non islami) merupakan upaya mengimbangi, melawan, bahkan menghilangi mudharat dan potensi kezaliman yang ada pada pemerintahan tersebut. Dengan cara melawan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam, sekaligus upaya awal memperkenalkan syariat Islam dan memperbesar peluang pemberlakuannya. Selain memang itu adalah bagian dari tadribat (pelatihan) bagi aktifis Islam sebagai conditioning (persiapan) bagi mereka, jika –qaddarallah- mereka ditakdirkan menjadi pemimpin negaranya.

Pandangan Para Ulama

Berkata Syaikh Abdurrahman as Sa’di Rahimahullah:

ومنها أن الله يدفع عن المؤمنين بأسباب كثيرة قد يعلمون بعضها وقد لا يعلمون شيئا منها وربما دفع عنهم بسبب قبيلتهم أو أهل وطنهم الكفار كما دفع الله عن شعيب رجم قومه بسبب رهطه وأن هذه الروابط التي يحصل بها الدفع عن الإسلام والمسلمين لا بأس بالسعي فيها بل ربما تعين ذلك لأن الإصلاح مطلوب على حسب القدرة والإمكان
فعلى هذا لو ساعد المسلمون الذين تحت ولاية الكفار وعملوا على جعل الولاية جمهورية يتمكن فيها الأفراد والشعوب من حقوقهم الدينية والدنيوية لكان أولى من استسلامهم لدولة تقضي على حقوقهم الدينية والدنيوية وتحرص على إبادتها وجعلهم عمَلَةً وخَدَمًا له

نعم إن أمكن أن تكون الدولة للمسلمين وهم الحكام فهو المتعين ولكن لعدم إمكان هذه المرتبة فالمرتبة التي فيها دفع ووقاية للدين والدنيا مقدمة والله أعلم

“Dari ayat ini, Allah Ta’ala membela orang-orang beriman dengan sebab yang banyak, yang sebagiannya telah mereka ketahui atau sama sekali mereka tidak ketahui. Di antaranya Allah menolong mereka karena faktor kesamaan suku atau tanah air dengan mereka para kuffar sebagaimana yang dialami nabi Syu’aib. Allah Ta’ala menolongnya karena ikatan tersebut. Karena ikatan itu pula (yakni ikatan kesamaan suku dan tanah air) Allah Ta’ala akan menolong Islam dan kaum muslimin, ini tidak apa-apa dilakukan, bahkan hal itu bisa menjadi wajib karena melakukan Ishlah (perbaikan) adalah tuntutan yang harus dilakukan sejauh kemampuan dan kemungkinan.

Oleh karena itu, upaya kaum muslimun yang hidup dibawah naungan wilayah kuffar, dan mereka bekerja untuk merubah keadaan menjadi negeri yang demokratis bagi individu dan masyarakat agar mereka bisa menikmati hak-hak agama dan dunia mereka, itu semua lebih utama dibanding menyerahkan semua urusan mereka kepada orang kafir, baik urusan agama, dunia, urusan pengaturan ibadah dan semua kebutuhan mereka. Benar, jika mungkin kaum musliminlah sebagai pengendali Negara dan pemerintahnya, tetapi jika tidak bisa, maka yang bisa kita lakukan harus kita lakukan dalam rangka melindungi agama dan dunia.” (Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Manan, Juz. 1, Hal. 388. Al Maktabah Asy Syamilah)

Sementara, Syaikh Nashir Sulaiman al ‘Umar (ulama Saudi Arabia) mengatakan system pemerintahan di dunia ini ada tiga saja: 1. Tatanan pepemrintahan Islam yang Adil. 2. Tatanan Pemerintahan Islam yang zhalim. 3. Tatanan pemerintahan dengan hukum kafir.

Apa yang diterangkan Syaikh as Sa’di di atas adalah jika kaum muslimin tinggal di negara yang jelas-jelas menggunakan hukum kafir dan wilayah kafir pula, di mana dia membolehkan bermusyarakah (berpartisipasi) dengan dalil dan renungan yang sangat brilian, Hal itu tentunya lebih-lebih di negeri yang sudah muslim, yang hanya tinggal sistemnya yang masih non islami.

Apa yang diuraikan Syaikh As Sa’di Rahimahullah ini juga didasari kaidah, Maa laa Yudraku kulluh laa yutraku kulluh (Apa-apa yang tidak bisa diraih semua, maka janganlah ditinggalkan semua).

Asas utama dari partisipasi politik ini adalah dalam rangka tahshilul maslahah wa taqlilul mafasid (Menghasilkan maslahat dan mengurangi mafsadat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:


وَفِي أَنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا وَأَنَّهَا تُرَجِّحُ خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ الشَّرَّيْنِ وَتَحْصِيلِ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا وَتَدْفَعُ أَعْظَمَ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا

“Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisirnya. Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan. Serta menghasilkan mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara keduanya.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hal. 241. Al Maktabah Asy Syamilah)

Lalu masih di halaman yang sama beliau berkata lagi:
وَمِنْ هَذَا الْبَابِ تَوَلِّي يُوسُفَ الصِّدِّيقَ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ لِمَلِكِ مِصْرَ بَلْ وَمَسْأَلَتُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ وَكَانَ هُوَ وَقَوْمُهُ كُفَّارًا كَمَا قَالَ تَعَالَى : { وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ } الْآيَةَ وَقَالَ تَعَالَى عَنْهُ : { يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ } { مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ } الْآيَةَ وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ مَعَ كُفْرِهِمْ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ لَهُمْ عَادَةٌ وَسُنَّةٌ فِي قَبْضِ الْأَمْوَالِ وَصَرْفِهَا عَلَى حَاشِيَةِ الْمَلِكِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَجُنْدِهِ وَرَعِيَّتِهِ وَلَا تَكُونُ تِلْكَ جَارِيَةً عَلَى سُنَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَعَدْلِهِمْ وَلَمْ يَكُنْ يُوسُفُ يُمْكِنُهُ أَنْ يَفْعَلَ كُلَّ مَا يُرِيدُ وَهُوَ مَا يَرَاهُ مِنْ دِينِ اللَّهِ فَإِنَّ الْقَوْمَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَكِنْ فَعَلَ الْمُمْكِنَ مِنْ الْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَنَالَ بِالسُّلْطَانِ مِنْ إكْرَامِ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ مَا لَمْ يَكُنْ يُمْكِنُ أَنْ يَنَالَهُ بِدُونِ ذَلِكَ وَهَذَا كُلُّهُ دَاخِلٌ فِي قَوْلِهِ : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ .

“Dari sisi inilah, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menjadi bendahara negeri Mesir, bahkan beliau memintanya kepada Raja agar beliau dijadikan bendahara negeri, padahal saat itu sang Raja dan kaumnya adalah kafir, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
“Dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, ..” (QS. Al Mu’min (40): 34)
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah selain Allah tiada lain kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya ..” (QS. Yusuf (12): 39-40)
Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, maka itu mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya. Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi dan utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat tidak menghendaki hal itu. Akan tetapi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap melakukan apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman diantara keluarganya, suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Betaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …” (Ibid)
Demikianlah pandangan cerdas Imam Ibnu Taimiyah, lalu renungkanlah ..... dengan dalil yang lugas dan kaidah yang jelas, beliau merekomendasikan musyarakah dengan pemerintahan yang jelas-jelas rajanya adalah kafir yang menggunakan undang-undang kafir pula di mana mereka punya sistem sendiri yang tidak mungkin dihindari Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, lalu dengan musyarakah itu dengan tujuan menghasilkan maslahat dan mencegah mudharat.
Sementara itu Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam juga berkata:
وَلَوْ اسْتَوْلَى الْكُفَّارُ عَلَى إقْلِيمٍ عَظِيمٍ فَوَلَّوْا الْقَضَاءَ لِمَنْ يَقُومُ بِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ ، فَاَلَّذِي يَظْهَرُ إنْفَاذُ ذَلِكَ كُلِّهِ جَلْبًا لِلْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ وَدَفْعًا لِلْمَفَاسِدِ الشَّامِلَةِ ، إذْ يَبْعُدُ عَنْ رَحْمَةِ الشَّرْعِ وَرِعَايَتِهِ لِمَصَالِحِ عِبَادِهِ

“Seandainya orang-orang kafir memimpin suatu daerah yang luas, lalu mereka (orang-orang) kafir menyerahkan kekuasaan kepada orang yang bisa menunaikan maslahat secara umum bagi kaum muslimin, maka hal itu bisa dilaksanakan karena nampak jelas bisa mendatangkan maslahat umum dan menolak kerusakan secara sempurna, walaupun jauh dari rahmat syariat dan pemeliharaannya terhadap maslahat hambaNya…(Qawa’id al Ahkam fii Mashalih al Anam, Juz. 1, Hal. 128. Al Maktabah Asy Syamilah)
Syaikh Nashir Sulaiman al Umar berkata dalam salah satu fatwanya tentang berpartisipasi dalam pemerintahan yang non islami, yang berjudul Dhawabith al Musyarakah fil Majalis an Niyabiyah (Patokan Berpartisipasi Dalam Majelis Perwakilan):
علماً أن الأصل في المشاركة هو الجواز، والمنع طارئ لأسباب وقرائن تحفّ بالأمر عند تطبيق القواعد المشار إليها آنفاً.
وما يستأنس به في هذا الباب هو مشروعية الجهاد مع كل بر وفاجر ، مادام القتال شرعياً.
علماً بأن الجهاد مع الفاجر لا يخلو من مفاسد معتبرة، لكنها تتضاءل عند مصلحة إقامة الجهاد، وترك الجهاد مع الفاجر أعظم مفسدة من المفاسد المترتبة على المشاركة فيه معه
.
“Ketahuilah, bahwa hukum asal dari musyarakah adalah jawwaz (boleh), Hal yang mendasarinya adalah disyariatkannya berjihad bersama imam baik dan yang fajir (jahat), selama berperang untuk hal-hal yang syar’i.
Ketahuilah, berjihad bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang jelas ada, Namun kerusakan ini menjadi kecil nilainya dihadapan besarnya kemaslahatan jihad, dan meninggalkan jihad bersama imam yang fajir akan membawa kerusakan yang lebih besar dibanding kerusakan jika ikut berjihad bersamanya.” (bagi yang ingin melihat teks lengkap fatwa beliau (masih bebahasa Arab) lihat http://islamtoday.net/islamion/f05.html)

Musyarakah dengan pemerintah non islami bukanlah obsesi atau cita-cita aktifis Islam. Namun, sering hal itu harus dilakukan karena melihat adanya peluang memperkecil mudharat dan mengambil mashlahat sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ini. Jika niatnya memang demikian, dan mereka tinggal di negeri yang tidak ideal tersebut, maka musyarakah adalah al Khiyar al Ashwab (pilihan yang benar) sekaligus al Khiyar al Ash’ab (pilihan yang sulit), sebab banyak sekali fitnah, tantangan, dan resiko yang akan mereka hadapi. Namun, tak ada perjuangan tanpa fitnah, tantangan dan resiko.
Terkadang kita melihat ada individu yang terseok-seok dalam menjalankan musyarakah, dia tidak mampu menghadapi ‘dunia baru’ yang sebelumnya justru dia jauhi yakni pemerintahan 'thaghut'. Namun akhirnya dia tenggelam dalam kesalahan baik yang prinsip atau partikular, baik kesalahan moralitas atau pemikiran. Kasus-kasus yang sifatnya perorangan ini tidak bisa dijadikan alasan melarang musyarakah atau menarik diri dari musyarakah yang lebih bermaslahat umum, sebab jika ternyata secara global dan lebih luas justru lebih mendatangkan maslahat yang langsung dirasakan masyarakat, maka tidak cukup alasan untuk menghentikan musyarakah. Sebab kasus tersebut adalah akibat kelemahan individu itu sendiri.
Berkata Syaikh Ahmad ar Raisuni –ulama Maroko- dalam tulisannya yang berjudul Limadza Nusyariku al Intikhabat (Kenapa Kami Ikut Pemilu?):
والحقيقة أن هذا وذاك واقع قديما وحديثا، ولكن هذا بكل تأكيد ليس حجة علينا ،بل هو حجة على الذين عجزوا، حجة عليهم وعلى أمثالهم من الذين انحرفوا انحرافهم ،وسقوطهم حجة عليهم وعلى أمثالهم، ولكن لا يقتضي هذا بالضرورة أن يبقى في الأمة إلا فاشل عاجز أو قابل للانحراف والساقط عند أول ابتلاء، الأمة أعظم من هذا ،الأمة كنز، والأمة منجم لغير هذا، فلذلك لا ينبغي أن يكون أهل الصلاح والدين: لابد أحد صنفين، إما ناس لا يحسنون إلا الفشل والعجز، وإما ناس سرعان ما يزلون ويفتنون ويسقطون، فلذلك نحن نرى أن الأمة لابد فيها صنف آخر، ونحن نرجو ونسعى ونتعاون لنكون من هذا الصنف

“Sebenarnya adanya tantangan dan kesulitan adalah realita saat ini dan masa lalu. Itu semua bukan alasan bagi kita, itu ada alasan bagi orang-orang yang lemah dan semisal mereka yang telah melakukan penyimpangan. Penyimpangan personal yang mereka lakukan merupakan bukti kelemahan pribadi yang bersangkutan, dan itu bukan berarti tidak ada lagi dari umat ini yang berhasil dalam musyarakah. Orang yang baik tidak hanya berfikir dua kemungkinan dalam musyarakah: gagal lalu keluar atau larut dalam penyimpangan. Di dalam umat dan jamaah ini pasti ada tambang berharga yang mampu berhasil dalam musyarakah. Kita saling tolong menolong dalam barisan yang solid dan kokoh dalam rangka terus mewujudkan keberhasilan musyarakah ini.”
( Lihat teks aslinya dalam http://www.raissouni.org/Docs/155200710648AM.doc)
Demikian pandangan para ulama klasik dan modern tentang berpartisipasi dalam pemerintahan non Islami.
Musyarakah Hanyalah Tahapan Bukan Tujuan
Ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi disorientasi dalam musyarakah. Para aktifis terjebak pada euphoria musyarakah, ternyata mereka melupakan tujuan asasi dan target besar mereka, yakni li I’la kalimatillah. Seharusnya hanya tahapan justru jadi tujuan dan berlama-lama di sana, sementara tujuannya dilupakan.
Sunatullah dalam hidup ini adalah sabar dalam berjuang, dan sabar dalam melalui tahapan dakwah adalah tuntutan yang tidak bisa ditawar sebab Allah Ta’ala telah menetapkan sunatullahNya atas seluruh makhluk yaitu sunah tadarruj (sunah pentahapan).

Segala sesuatu berangkat dari yang kecil lalu membesar, lemah menjadi kuat, sedikit menjadi banyak. Kita bisa melihat sunnah ini dalam tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Tumbuhan tidak langsung berbuah, burung tidak langsung bisa terbang, manusia tidak langsung baligh. Sebelum itu, mereka semua melalui tahapan-tahapan yang telah ditetapkanNya.

Dalam mengarungi kehidupan juga demikian, baik itu pendidikan karir pekerjaan, dan lainnya. Walau kita sangat berambisi untuk mendapat yang lebih, namun kita tidak bisa melampaui sunah ini, bertahap. Sama halnya dengan penerapan system dan hukum Islam di negeri ini, atau penghapusan syirik dan bid’ah, semua ada pasang surut dan tantangannya, yang akhirnya kita menyadari bahwa memang betapa pentingnya tahapan dalam dakwah dan tahapan dalam merubah system yang ada. Itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dilanjutkan oleh para sahabat. Ada pun terburu-buru dan orang yang terburu-buru, cepat atau lambat, akan menyadari bahwa mereka keliru.
Lihatlah Islam … Al Quran diturunkan di dunia secara bertahap sesuai peristiwanya. Syariat diterapkan Allah Ta’ala juga bertahap, pengharaman Khamr (minuman keras) melalui tiga tahapan, pertama, ayat jangan dekati shalat dalam keadaan mabuk, kedua, ayat tentang khamr itu ada manfaat tetapi mudharatnya lebih besar, ketiga, ayat bahwa khamr adalah perbuatan syetan dan jauhilah. Masih banyak lagi contohnya.
Tidak Selamanya Boleh
Musyarakah bukanlah pilihan ideal, dia benar dalam konsidi tertentu, namun belum tentu benar dalam kondisi lain. Oleh karena itu aktifis Islam harus memperhatikan syarat-syarat ini, jika tidak terpenuhi, maka musyarakah adalah perbuatan terlarang.

1. Tujuan memang karena ingin menghambat kerusakan dan seluruh pintunya, serta meraih maslahat umum dan menyempurnakannya.

2. Tidak ada niat memperkaya diri dan mencari ketenaran dan segala godaan dunia lainnya.
3. Partisipasi ini harus dilakukan secara nyata, bukan diperalat oleh kekuasaan yang ada sehingga mengebiri potensi dan kekuatan para aktifis itu sendiri.
4. Partisipasi ini tidak boleh justru memperlama keberadaan system dan penguasa non islami tersebut, apalagi memperkuatnya, para aktifis harus bisa mendakwahinya, merubahnya dan mengajak mereka ke jalan Allah Ta’ala, bukan justru mendukung dan bersekutu dengan ideologi sesat mereka.
Nah untuk mengawal dan mengawasi syarat-syarat ini dengan baik, maka harus dilakukan evaluasi, kalau perlu dibuat secara periodik, agar mereka bisa mengetahui, apakah partisipasi mereka selama ini membawa maslahat atau tidak?
Apakah mereka menjadi alat saja, atau sebaliknya menjadi aktor utama yang bisa menentukan arah angin kebijakan negara?
Apakah agenda-agenda syariah sudah dilakukan sesuai target dan harapan? Atau justru semakin tidak jelas, apakah warna Islam sudah pada system negera ini, walau sedikit saja?
Ini harus senantiasa dievaluasi dan koreksi, agar bisa mengetahui pula keputusan selanjutnya apa? Apakah musyakah bisa dilanjutkan atau menjadi out sider?
Sesungguhnya berpartisipasi atau tidak adalah pilihan yang sama-sama punya resiko, dan tantangan masing-masing. Ada pun legitimasi syariah bagi kedua pilihan itu juga ada dalam Al Quran, As sunah, dan realita sejarah umat ini. Maka, untuk negara ini pilihan manakah yang bisa kita ambil?. Wallahu A’lam
Referensi:
1. Taujih Pekanan PKS
2. Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam, karya Imam Izzuddin bin Abdissalam
3. Majmu’ Fatawa, karya Imam Ibnu Taimiyah
4. Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Manan, karya Syaikh Abdurrahman As Sa’di
5. http://www.raissouni.org
6. http://islamtoday.net



Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Selasa, 12 April 2011

Surat Cinta Untuk Adiku...

Adiku..
kabarmu mengejutkanku...
adakah selama ini khilaf yang tak terlihat
ataukah salah yang tak terasa

adapun aku tidaklah mempermasalahkan
di jalan mana engkau kan melangkah
bagiku semua sama saja
asal engkau tetap istiqomah
dalam roda kebaikan dan nafas dakwah

terkejut, iyalah sedikit
syok, insyaALlah enggak
keluar dan masuk adalah fitrah
bagi lakon sebuah jamaah
lagipula akupun tak bisa menjamin
bahwa inilah jamaah yang paling Allah ridhoi
untuk episode di saat ini

adiku
apapun pilihanmu
maka itu adalah hakmu
jamaah ini tak sempurna
memang begitulah adanya
namun jikalau itu yang kurasa
segera kuingat sebuah nasihat
dari seorang sahabat mulia (imam ali.r.a)
"Keruhnya engkau dalam jamaah
adalah lebih baik dari jernihnya engkau dalam sendiri"

ataupun sabda dari nabi kita
yang aku lupa sanad dan derajat kesohihanya:
" serigala itu kan menerkam domba yang menyendiri,
begitupun setan terhadap bani adam"

adiku
meskipun engkau memilih diluar
kuharap tak terputus silaturahim
tak pula meluntur semangat jihad
dan akan terus berkontribusi
dalam laju amal islami

mari kita bersama
terus dan terus untuk belajar
memberikan yang terbaik untuk ummat
dan kepada Allah sajalah kita berkhidmad

akhifillah...
sedikit cerita di masa lama
yang barangkali engkaupun pernah membaca

"SEBUAH DIALOG SELEPAS MALAM"

“AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.

Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?", tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

"Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?", sang murabbi mencoba memberi opsi.

"Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.

Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.

"Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.

Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup akhi, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."

"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum. "Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."

"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.

"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."

"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"

Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.

"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

"Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!", sahut sang murabbi.

"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.

Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari Anda, pembaca...

Wallahu a'lam.
-----------
sumber: Majalah Al-Izzah, No. 07/Th.4

Adapun jika karena masalah fikh dan sebagainya
membuatmu ragu untuk terus melaju
hingga engkau menarik dirimu
barangkali link ini bisa sedikit
memberi tambahan pertimbanganmu

http://www.al-ikhwan.net/category/raddus-syubuhat/



Yang selalu mencintaimu karena Allah
Abi Khonsa Alkalimantani


Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Senin, 11 April 2011

7 Manfaat Diam

TUJUH MANFAAT DIAM

Pertama:
Merupakan Ibadah tanpa harus capek

Kedua:
Merupakan hiasan diri tanpa perhiasan

Ketiga:
Wibawa tanpa kekuasaan

Keempat:
Benteng tanpa dinding

Kelima:
Tidak perlu meminta maaf kepada siapapun

Keenam:
Malaikat pencatat amal menjadi rehat :D

Ketujuh:
Penutup keburukan dan sisi-sisi kejahiliyahan diri


Dengan diam, anda mendapatkan kekuatan hebat untuk berfikir secara mendalam tentang apa yang terjadi di sekelilingmu, serta dapat konsentrasi dengan penuh tentang rasionalitas suatu jawaban.

Dengan diam anda telah menguasai orang-orang yang ada di hadapan anda melalui pandangan mata anda yang mengandung banyak makna tersembunyi, yang membuat mereka kebingungan dalam memberikan tafsirnya.

Diam yang disertai sedikit gerak pisik dan isyarat mata telah memaksa orang yang ada di hadapan anda harus banyak mengungkapkan isi hatinya, sehingga ia lebih banyak berbicara daripada yang seharusnya ia berbicara.

Bisa jadi diam terasa oleh orang lain sebagai serangan terselubung yang menjadikannya semakin mendongkol, sehingga anda menjadi lebih kuat tanpa harus berbicara dan bercapek-capek.

Diam bisa menjadi solusi paling jitu dalam menghadapi berbagai problema rumah tangga ringan yang bertumpuk-tumpuk.

Di saat-saat genting, diam dapat melahirkan sikap dihormati, sebaliknya, perlawanan dan perdebatan dapat melahirkan sikap semakin menjauh dan dendam.

Dengan diam, anda telah menghancurkan berbagai senjata orang yang berseteru denganmu, serta menelanjangi mereka dari kemampuannya untuk melanjutkan kosa katanya.

Diam telah menjadi guru yang baik agar anda belajar menjadi pendengar yang baik, di mana banyak orang telah kehilangan sifat ini.

*)Penulis: Ustadz Musyafa Ahmad Rahim

*posted: pkspiyungan.blogspot.com

Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Sabtu, 09 April 2011

Ukiran Cendela dengan Cellular Automata

Malam ini sambil siap-siap mau mandi sore (mandi sore yang kemaleman abis ngantarin Om ke BEC) muncul ide untuk utak-atik program CA yang udah ada..maka.. bismillah jadilah gambar ukiran daun cendela seperti ini:


untuk codingnya bagi yang tertarik bisa didownload disini


Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Jumat, 08 April 2011

Batik Cellular Automata (CA)

tadi malam habis ngebantuin istri ngerjain tugas sistem komplek dengan tema cellular automata, waktu otak-atik dengan MATLAB gak sengaja nemuin suatu aturan yang setelah diiterasi menghsilkan pola batik kayak gini :


kalau butuh codingnya silahkan download disini


Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Kamis, 07 April 2011

Belajar MATLAB

Yang ingin belajar matlab silahkan download disini

Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Fraktal

Yang tertarik dengan dunia fraktal silahkan download disini

Berjalan di atas angin.... mereguk cinta menambat asa... lalui hidup dengan cinta dan kerinduan... Allahu Ghoyatuna...

Anda Pengunjung Ke :